Dedek Belajar Puasa

Wednesday, August 26, 2009
Uhhhhhhhhh lama nian tidak menulis di Blog, gara-gara si FB yang terlalu memikat.

Anyway, mau cerita nih tentang dedek Mirza yang lagi belajar puasa.

Ceritanyakan sejak tanggal 8 Agustus kemarin, aku resmi pindah ke Jogja untuk ngelanjutkan program S3 di ICRS UGM. Sayang hanya dedek Mirza saja yang bisa aku boyong ke Jogja. Sebenarnya pengen juga bawa Kakak Kavin serta, tapi kakak sekarang sudah kelas 5 SD, jadi kasihan kalau harus pindah sekolahan. Lagian mulai habis lebaran nanti kakak mau sekolah diniyyah di rumah Banyuwangi.

Ceritanya aku baru nyampek Jogja dari Jakarta sehari sebelum puasa. Sempat kepikiran gimana cara untuk ngajari dedek puasa. Kan memang dalam keluargaku ketika umur 5 tahun sudah mulai dikenalkan pada puasa. Kebetulan aku belum bisa mengikuti puasa. Hari Sabtu pagi or the first day of fasting month, aku dan dedek bangun jam 8 pagi. Sekolahnya pas libur. Terus dedek sarapan jam 8.30. Habis itu aku suruh untuk belajar puasa. Jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mulai menerangkan apa itu puasa ke dedek mirza, jadi ketika dia tak suruh puasa dia langsung mau.

Sebenarnya aku gak masang target sampe berapa jam dia akan bisa puasa, 3-4 jam saja cukuplah. Eh baru puasa setengah jam dia udah bilang "Ma, susunya dedek belum habis tuh." Dubrakkk deh hehehhe. Setelah dirayu-rayu akhirnya dia mau ngelanjutin puasanya. Untuk mengalihkan perhatiannya, aku dan babah ngajak dia jalan ke pasar klitikan.

Alhamdulillah bertahan sampai jam 1 siang. Setelah makan dan minum susu, Dedek aku ajak tidur siang. Bangun tidur mandi, terus nonton film di laptop, dan berlanjut sampe waktu buka puasa tiba. Horeeeeee. Akhirnya belajar puasa hari pertama sukses. Dan alhamdulillah sampe hari ketiga dedek semakin kuat belajar puasa, walaupun belum sehari penuh
 
posted by Nihayatul (Ninik) Wafiroh at 10:29 AM, | 1 comments

Diskusi tentang Keramahan

Tuesday, August 11, 2009
Pagi ini sehabis menunggu mbak-mbak yang ternyata tidak juga muncul sampai lewat satu jam dari jadwal yang dijanjikan, akhirnya aku meluncur ke Jajag bertemu dengan seorang kawan untuk melakukan deal tempat acara gathering Laros. Dan Lagi-lagi ternyata kawan ini tidak ontime juga *payahhh dehh*.

Acara selesai, aku mampir ke supermarket terbesar di kota Jajag. Kaget juga, sudah lama tidak masuk toko ini ternyata sekarang tambah besar dan komplet. Celingak-celinguk mencari barang-barang alat tulis. Setelah tanya ke pramuniaga yang jadi kasir, akhirnya aku menuju ke tempat yang ditunjuk.

Asli sempat ngerundel, karena tempatnya berantakan dan posisi barang-barang yang aku cari di bagian atas, hingga aku kesulitan mengambil. Bukan tidak ada pramuniaga disitu, tapi mereka diam saja ngelihat aku kesulitan mengambil barang. Pramuniaga2 lainnya kayaknya masih sibuk *entah sok sibuk*, yang jelas tidak ada yang menegur aku.

Aslinya masih ada satu barang yang aku cari dan belum ketemu, tapi akhirnya aku menuju kasir. Mbak kasir yang bersergama merah menyala resmi dan bercelana panjang plus sepatu hak agak tinggi melayaniku. Sambil menunggu barangku di hitung aku bertanya:

"Mbak, enek tinta untuk stempel enggak?"

"Ada tuh mbak." Sambil tidak nengok

"Dimana mbak? kok aku nyari eggak ketemu ya"

"Mbaknya tadi tanya enggak ke pegawai?"

Aku menggeleng pelan.

"Harusnya mbak tanya kalau enggak tahu."

weehhhh kok dadi gini

"Mbak, semua pegawai sibuk, lawoang aku naik2 kursi ngambil barang aja enggak ada yang nolong tuh."

MBak kasir mulai nengok aku yang mulai ngeyel. walaupun suaraku pelan tapi kelihatan banget aku ngeyel.

"Makanya minta tolong mbak." Suara mbak kasir sudah mulai sewot

Sambil tersenyum sinis aku bilang, "Kok customer di marahi."

Mbak kasir langsug diam klekep. Sambil teriak-teriak ke teman kasir satunya, Mbak ini tanya apakah barang yang aku cari ada. Dan kawannya itu bilang ada, tempatnya di ujung.

Aku pikir mbak kasir ini akan mengambilkan barag itu ternyata setelah metotal semua belanjaanku, dia diam saja.

"Lho mbak, tinta tadi gimana?" aku masih mengejar

"Ya sana mbak diambil sendiri, di pojok".

Asemm temenan kasir ini. Akhirnya aku ambil kresek belajaanku "wes mbak gak jadi, makasih deh".

Aku heran sekali apakahpramuniaga di Indonesia tidak diajari bagaimana untuk melayani pembeli. Sebagai seorang pramuniaga harusnya mereka bukan hanya bisa menata barang saja tapu juga tahu bagaimana memperlakukan customer.

Aku mencoba membandingkan dengan pramuniaga di US. Mereka sangat ramah. Walaupun kita tidak butuh bantuan kalau ada yang lewat pasti mereka akan tanya "How is everything?". Kasirpun juga begitu. Pasti mereka akan menyapa "How are you? do you find eveything?" dan selesai melayani mereka tidak akan lupa mengucapkan "Thanks, happy a good day." Kalaupun ada apa-apa mereka juga akan dengan senang hat mengambilkan untuk kita. Jadi sebagai customer kita merasa dihargai dan feeling home banget. Hubungan antara penjual dan pembeli ada bbukan hanya hubungan seperti pembeli dan barang.

Katanya Indonesia itu ramah, tapi kok begitu ya?????
 
posted by Nihayatul (Ninik) Wafiroh at 3:33 PM, | 0 comments

Ambisius VS Pejuang

Apa bedanya seorang ambisius dan pejuang?

Beberapa waktu lalu seorang kawan menyebut saya sebagai “seseorang ambisius.” Sempat kaget ketika tiba-tiba dalam obrolan di Yahoo Messenger dia menulis kata-kata itu dengan huruf besar dan di bold.

Apakah ketika memilih untuk melanjutkan sekolah kembali lalu saya pantas mendapat julukan ambisius?. “Bagaimana kamu tidak ambisius, selama ini kamu sudah meninggalkan anak kamu untuk sekolah, eh sekarang master sudah ditangan masih belum puas.” Itu komentar teman saya ketika saya berusaha membela diri.

Selama ini saya tidak pernah merasa menjadi sosok yang ambisius, karena di banyak hal saya tetap harus mengalah dan bernegosiasi. Jujur bila menuruti kemauan, saya masih ingin melanjutkan sekolah di luar negeri, tapi karena banyak pertimbangan, terutama keluarga saya memutuskan untuk mengambil program doctoral di Indonesia.

Mungkin sebagian orang bepikir alasan itu adalah semacam excuse saja buat pilihan saya, karena bagaimanapun jelas-jelas saya tidak mau menunda sekolah barang satu semester. Saya hanya memiliki waktu dua bulan setengah dari jarak kelulusan dari Asian Studies department di University of Hawaii dengan degree yang akan saya ambil. Itupun tetap harus terpotong dengan kegiatan akademik lainnya, seperti conference.

Dalam pikiran kebanyakan orang, salah satunya saya sendiri, kata-kata ambisius selalu identik dengan sifat negative yang tidak mau kalah dan menang sendiri. Kata egois hampir selalu disandingkan dengan ambisius. Contoh simple saja, ketika seseorang yang tidak memiliki background politik tiba-tiba maju mencalonkan diri menjadi anggota legislative. Sering kali kita mendengar sindiran nyinyir kalau orang tersebut terlalu berambisi untuk merebut kursi dewan hanya untuk mengejar kekayaan.

Saya bukan ahli linguistic tapi secara kasat mata saja sebenarnya kata ambisi asosiasinya bukan hanya negative tapi juga positif. Ketika seseorang mengejar impiannya dan tidak mau menyerah orang tersebut bisa masuk kategori ambisius. Tentu dalam konteks ini kesan yang ditimbulkan adalah baik. Memang dalam melihat kata-kata harus disandingkan dengan konteks. Dan selama ini ambisius selalu di sejajarkan dengan sesuatu yang negative.

Lalu apa bedanya ambisius dan pejuang?. Menurut pendapat saya yang awam pada masalah bahasa, dua kata tersebut memiliki arti yang sama yakni usaha untuk mencapai sesuatu. Berbeda dengan ambisius, kata “pejuang” dipandang berjajar erat dengan hal positif yang akan dicapai. Orang akan kelihatan sangat hebat bila dia memiliki label sebagai “Pejuang,” semisal pejuang tanah air, pejuang yang membela agama, bahkan pejuang cinta selalu dipandang positif.

Apakah orang seperti saya tidak pantas disebut pejuang juga?. Jelas-jelas saya sedang berjuang untuk menghilangkan kebodohan, berjuang memperbaiki nasib, berjuang untuk mencapai cita-cita.
Tapi mungkin semua perjuangan saya tersebut tertutupi dengan kenyataan saya sebagai seorang perempuan yang memiliki dua orang anak. Label “Ibu teladan” atau “Ibu Baik” hanya boleh disematkan pada orang yang mencurahkan perhatian dan hari-harinya di sisi anaknya, bukan seorang Ibu yang sering meninggalkan anak-anaknya untuk sekolah seperti saya. Kalau seorang Ibu pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW, jelas mereka pulang dengan sesuatu yang kasat mata yakni uang. Lalu bagaimana seorang yang dijuluki “ambisius dalam sekolah’? apa yang dibawa pulang?. Ilmu tentu tidak kasat mata seperti halnya materi.

Lalu saya memilih menjadi apa? Saya sendiri tidak perduli dengan label yang akan saya terima, bagi saya ketika saya melangkah ada tiga hal yang tidak bisa lepas yakni, keluarga, komunitas, dan karir. Dengan label ambisius maupun pejuang, tiga hal tersebut tetap menjadi prioritas tujuan.

Enjoy aja.
 
posted by Nihayatul (Ninik) Wafiroh at 3:32 PM, | 0 comments