Mahalnya Informasi
Tuesday, February 22, 2011
Dengan ketiga teman aku melakukan small research tentang pemberitaan tentang Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam sebuah media nasional yang mengusung label agama tertentu. Kami berbagi tugas, aku dan salah satu teman harus mencari data ke Pusat Dokumentasi (Pusdok) di media yang akan kami teliti, sedangkan dua temen lainnya kebagian cari tambahan buku reference di perpustakaan jurusan Komunikasi di salah satu Universitas terkenal dan tertua di Indonesia. Cerita di bawah ini adalah rangkuman dari pengalaman dua kelompok kecil ini.
Cerita pertama aku awali dari pengalamanku mencari data ke pusdok media yang berada di kawasan warung Buncit. Beberapa hari sebelumnya aku telah mengontak pihak pusdok untuk meminta ijin mencari data-data tentang KDRT yang ada di koran tersebut. Aku lalu membuat janji bertemu, dan aku datang di hari yang telah kami sepakati. Setelah naik busway dan turun di halte Pejaten, kami menuju kantor redaksi. Ruangan pusdok berada di lantai 3, dengan mengenakan kartu tamu kami berdua naik ke lantai 3 melalui tangga. Sempat heran juga nih, masak kantor segede ini gak ada elevatornya :).
Kami bertemu dengan staf yang pernah aku telfon. Sebelum datang ke pusdok ini aku membayangkan akan dapat file dalam bentuk pdf dari keselurah berita dari beberapa bulan yang akan jadi fokus penelitianku. Dari berita-berita tersebut aku bisa memilih berita-berita yang aku butuhkan. tapi ternyata untuk bisa mengaksesnya dan mengunduh data-data pdfnya bayarnya 1 lembarnya 5 rb. Watawww bayangkan bila yang aku butuhkan data mulai januari-juli, terus setiap hari ada sekitar 20 halaman, berapa jumlah uang yang harus aku keluarkan???
setelah berdiskusi dan sedikit berdebat akhirnya diputuskan aku hanya mencari berita-berita tentang KDRT melalui keyword KDRT dan muncullah 16 berita, dan kita harus membayar tiap lembar beritanya 5 rb. Ya lumayanlah untuk sekedar memangkas uang. Terus terang aku heran kenapa mereka terkesan begitu "pelit" untuk berbagi informasi, toh bila ada unsur positif dari penelitianku pasti juga akan meningkatkan kredibilitas koran tersebut. Disamping itu mereka sudah pasti mendapatkan income dari penjualan harian koran, lalu kenapa untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut harus juga dipungut biaya yang terbilang tinggi.
Cerita kedua dari tim kecil kedua yang pergi ke perpustakaan pasca jurusan komunikasi. Memang teman kami bukan mahasiswa univ tersebut, tapi karena kami sedang melakukan short course dan fasilitatornya orang-orang dari univ ini jadi kami diberi kartu perpus untuk mengakses perpus PSKW (Pusat Studi kajian Wanita). Dua temenku datang ke perpus komunikasi karena perpus PSKW sedang tutup, dan jauh-jauh hari petugas PSKW telah mengisyaratkan kalau kita bisa mengakses perpus pasca.
Ketika sampe di perpus jur komunikasi, dua temenku menemui petugas untuk meminta ijin membaca. Temenku tahu kalau mereka hanya akan dapat hak membaca, bukan hak pinjam, dan merekapun siap untuk membayar agar dapat akses membaca. Dengan membawa list buku yang hendak dicari, temenku berbicara dengan petugas. "Bisakah kami ikut membaca bu?" dengan lagak yang sok dan tak acuh dia menjawab "Bisa bacakan tulisan di atas" tangannya menunjuk tulisan di atas pintu "Hanya untuk kalangan sendiri." temenku berusaha untuk menjelaskan kalau dia cuman akan membaca tidak pinjam, lagi-lagi ibu petugas menjawab dengan tidak bersahabat "Dibilangin kok masih ngotot, bisa baca tidak sih?"
Dengan gontai dua temenku mundur, eh tiba-tiba ada petugas laine yang memberikan kertas ke mereka yang isinya "ditunggu di lantai 1." Dengan tanpa tahu apa maksudnya, mereka turun dari lantai 6 ke lantai 1. Ketika di lantai 1, petugas yang memberikan memo memanggil mereka dan mengajak mereka berbicara di ruangan pojok. "Mbak mau foto kopi buku yang mana? saya akan bantu foto kopikan, bayarnya 150rb." Dua temenku terbengong-bengong, ini apa-apaan sih. "Lho pak, kami kan belum tahu bukunya seperti apa, isinya apa saja, dan setebal apa, kok bapak tiba-tiba menawarkan dengan 150 rb." bapak tadi masih juga mendesak dengan mencoba menerangkan bahwa hal itu biasa dilakukan oleh mahasiswa, tujuannya ya untuk membantu mahasiswa mendapatkan materi yang dibutuhkan. Sadar ada usaha kongkalikong dua temenku langsung tegas mengatakan "TIDAK PAK," lalu ngacir pergi.
Nurut perkiraanku tidak mungkin praktek ini berjalan sendiri, pasti sudah ada kerjasama antar petugas perpus, dan yang jelas kalau dari lagaknya pasti praktek hitam ini sudah terjadi lama. Lalu apakah kepala perpusnya tidak tahu? sulit untuk mempercayai kalau sampe kepala perpusnya tidak tahu. Kalau sudah begini lebih baik memperbaiki kebijakan dengan mengijinkan orang dari luar jurusan untuk mengakses. Kalaupun harus membayar sejumlah uang sebagai imbalan ijin membaca itu lebih fair dan uangnya lebih jelas masuknya ke perpus. Terus kalau ada yang membutuhkan referensi, perpus bisa menyediakan foto copy, dan jelas ini akan jadi sumber pemasukan yang besar buat perpus, dana itu bisa untuk membiayai pengembangan perpus. Jalan seperti ini lebih membangun dari pada uangnya masuk kantong pegawai yang tidak jelas.
Dua kejadian ini menghentakkan kesadaran terdalamku tentang mahalnya untuk mendapatkan informasi di Indonesia. Lalu bila informasi telah disetting menjadi sesuatu yang mahal dan penuh intrik bagaimana pengetahuan kita bisa berkembang.
Ah.... jadi bertambah semangat untuk terus mengembangkan perpustakaan komunitasku. Yup perpustakaan yang terbuka untuk siapa saja, tidak perlu biaya apapun untuk jadi anggota dan ataupun sekedar membaca. Aku ingin semua orang punya kesempatan untuk bisa mendapatkan informasi dari bacaan. Semoga
Cerita pertama aku awali dari pengalamanku mencari data ke pusdok media yang berada di kawasan warung Buncit. Beberapa hari sebelumnya aku telah mengontak pihak pusdok untuk meminta ijin mencari data-data tentang KDRT yang ada di koran tersebut. Aku lalu membuat janji bertemu, dan aku datang di hari yang telah kami sepakati. Setelah naik busway dan turun di halte Pejaten, kami menuju kantor redaksi. Ruangan pusdok berada di lantai 3, dengan mengenakan kartu tamu kami berdua naik ke lantai 3 melalui tangga. Sempat heran juga nih, masak kantor segede ini gak ada elevatornya :).
Kami bertemu dengan staf yang pernah aku telfon. Sebelum datang ke pusdok ini aku membayangkan akan dapat file dalam bentuk pdf dari keselurah berita dari beberapa bulan yang akan jadi fokus penelitianku. Dari berita-berita tersebut aku bisa memilih berita-berita yang aku butuhkan. tapi ternyata untuk bisa mengaksesnya dan mengunduh data-data pdfnya bayarnya 1 lembarnya 5 rb. Watawww bayangkan bila yang aku butuhkan data mulai januari-juli, terus setiap hari ada sekitar 20 halaman, berapa jumlah uang yang harus aku keluarkan???
setelah berdiskusi dan sedikit berdebat akhirnya diputuskan aku hanya mencari berita-berita tentang KDRT melalui keyword KDRT dan muncullah 16 berita, dan kita harus membayar tiap lembar beritanya 5 rb. Ya lumayanlah untuk sekedar memangkas uang. Terus terang aku heran kenapa mereka terkesan begitu "pelit" untuk berbagi informasi, toh bila ada unsur positif dari penelitianku pasti juga akan meningkatkan kredibilitas koran tersebut. Disamping itu mereka sudah pasti mendapatkan income dari penjualan harian koran, lalu kenapa untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut harus juga dipungut biaya yang terbilang tinggi.
Cerita kedua dari tim kecil kedua yang pergi ke perpustakaan pasca jurusan komunikasi. Memang teman kami bukan mahasiswa univ tersebut, tapi karena kami sedang melakukan short course dan fasilitatornya orang-orang dari univ ini jadi kami diberi kartu perpus untuk mengakses perpus PSKW (Pusat Studi kajian Wanita). Dua temenku datang ke perpus komunikasi karena perpus PSKW sedang tutup, dan jauh-jauh hari petugas PSKW telah mengisyaratkan kalau kita bisa mengakses perpus pasca.
Ketika sampe di perpus jur komunikasi, dua temenku menemui petugas untuk meminta ijin membaca. Temenku tahu kalau mereka hanya akan dapat hak membaca, bukan hak pinjam, dan merekapun siap untuk membayar agar dapat akses membaca. Dengan membawa list buku yang hendak dicari, temenku berbicara dengan petugas. "Bisakah kami ikut membaca bu?" dengan lagak yang sok dan tak acuh dia menjawab "Bisa bacakan tulisan di atas" tangannya menunjuk tulisan di atas pintu "Hanya untuk kalangan sendiri." temenku berusaha untuk menjelaskan kalau dia cuman akan membaca tidak pinjam, lagi-lagi ibu petugas menjawab dengan tidak bersahabat "Dibilangin kok masih ngotot, bisa baca tidak sih?"
Dengan gontai dua temenku mundur, eh tiba-tiba ada petugas laine yang memberikan kertas ke mereka yang isinya "ditunggu di lantai 1." Dengan tanpa tahu apa maksudnya, mereka turun dari lantai 6 ke lantai 1. Ketika di lantai 1, petugas yang memberikan memo memanggil mereka dan mengajak mereka berbicara di ruangan pojok. "Mbak mau foto kopi buku yang mana? saya akan bantu foto kopikan, bayarnya 150rb." Dua temenku terbengong-bengong, ini apa-apaan sih. "Lho pak, kami kan belum tahu bukunya seperti apa, isinya apa saja, dan setebal apa, kok bapak tiba-tiba menawarkan dengan 150 rb." bapak tadi masih juga mendesak dengan mencoba menerangkan bahwa hal itu biasa dilakukan oleh mahasiswa, tujuannya ya untuk membantu mahasiswa mendapatkan materi yang dibutuhkan. Sadar ada usaha kongkalikong dua temenku langsung tegas mengatakan "TIDAK PAK," lalu ngacir pergi.
Nurut perkiraanku tidak mungkin praktek ini berjalan sendiri, pasti sudah ada kerjasama antar petugas perpus, dan yang jelas kalau dari lagaknya pasti praktek hitam ini sudah terjadi lama. Lalu apakah kepala perpusnya tidak tahu? sulit untuk mempercayai kalau sampe kepala perpusnya tidak tahu. Kalau sudah begini lebih baik memperbaiki kebijakan dengan mengijinkan orang dari luar jurusan untuk mengakses. Kalaupun harus membayar sejumlah uang sebagai imbalan ijin membaca itu lebih fair dan uangnya lebih jelas masuknya ke perpus. Terus kalau ada yang membutuhkan referensi, perpus bisa menyediakan foto copy, dan jelas ini akan jadi sumber pemasukan yang besar buat perpus, dana itu bisa untuk membiayai pengembangan perpus. Jalan seperti ini lebih membangun dari pada uangnya masuk kantong pegawai yang tidak jelas.
Dua kejadian ini menghentakkan kesadaran terdalamku tentang mahalnya untuk mendapatkan informasi di Indonesia. Lalu bila informasi telah disetting menjadi sesuatu yang mahal dan penuh intrik bagaimana pengetahuan kita bisa berkembang.
Ah.... jadi bertambah semangat untuk terus mengembangkan perpustakaan komunitasku. Yup perpustakaan yang terbuka untuk siapa saja, tidak perlu biaya apapun untuk jadi anggota dan ataupun sekedar membaca. Aku ingin semua orang punya kesempatan untuk bisa mendapatkan informasi dari bacaan. Semoga
Labels: Catatan SC
6 Comments:
« back home
Post a Commentkunjungan pagi salam kenal aja min
Saya benar-benar menikmati tema / desain website Anda. Apakah Anda pernah mengalami masalah kompatibilitas browser? Sejumlah pembaca blog saya mengeluh tentang blog saya tidak beroperasi dengan benar dalam Explorer tetapi tampak hebat di Chrome. Apakah Anda memiliki recommendationhs untuk membantu memperbaiki masalah ini?
makasih nih untuk artikelnya
Terimakasih, Semoga Bermanfaat
Terimakasih, Semoga Bermanfaat
Informasi yang menarik