Refleksi film "Perempuan Berkalung Surban"
Thursday, April 30, 2009
Beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah S1 di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta, aku sempat jalan-jalan ke toko buku Toga Mas, mataku tertuju pada sebuah novel dengan judul "Perempuan Berkalung Surban" yang ditulis oleh Mbak Abidah.
Reaksiku pertama membaca novel itu adalah meneteskan air mata. Pertama karena aku sangat haru dengan ceritanya. Kedua aku sangat bangga pada sosok Abidah yang berani mengangkat suara perempuan pesantren dengan kritik-kritiknya yang tajam dalam bungkusan cerita novel yang menarik.
Ketika novel ini diangkat menjadi sebuah film, aku sangat penasaran. Disamping pengen tahu bagaimana Hanung Bramantyo memvisualkan novel tersebut, juga karena banyaknya reaksi yang bermunculan. Tapi jujur, aku sudah lupa-lupa ingat jalan cerita dalam novel tersebut. Cuman sayang aku belum mendapat kesempatan mendapat film utuhnya sampe tadi malam.
Tadi malam yang seharusnya aku buat untuk menulis paper, aku habiskan untuk memuaskan rasa penasaranku pada film "Perempuan Berkalung Surban." Ah entar kenapa reaksiku sama seperti saat membaca novel ini, aku tetap tidak bisa menahan air mataku mengalir.
Benar-benar sosok Anisa dalam film tersebut membawa ingatanku pada seorang kawan. Pada banyak hal kawanku ini memiliki banyak kemiripan dengan Anisa. Dia adalah putri kyai, pernah hidup di Jombang, dan menghabiskan waktu kuliah di Jogja. Kawanku dan Anisa juga sama-sama senang menulis. Dan menjadikan kisah hidupnya sebagai inspirasi ketika menulis.
Bila Anisa diijinkan oleh orang tuanya melanjutkan kuliah di Jogja kalau sudah menikah, tidak beda jauh dengan kisah kawanku ini. Dia harus menikah dulu sebelum akhirnya bisa menikmati bangku kuliah. Bagi dua perempuan ini (yang satu perempuan fictive belaka dan satunya perempuan yang benar2 nyata) kuliah adalah sesuatu yang mahal yang harus direbutnya dengan mengorbankan masa muda. Tapi kawanku ini kayaknya lebih beruntung dari pada anisa dalam kehidupan berumahtangganya. Berbeda dengan Anisa yang oleh suami pertamanya dilarang berkuliah, tapi kawanku ini bisa mengejar studynya, dan membayar kehilangan masa mudanya dengan berlari mengejar studynya. Walaupun sebenernya pernikahan mereka sama-sama dijodohkan.
Bila Anisa mendapat tantangan ketika akan membangun perpustakaan, yang akhirnya buku-bukunya dibakar oleh kakaknya, karena dianggap menyalahi soul dari pesantren, kawanku ini hampir mendapatkan permasalahan yang sama ketika dia mengenalkan jurnalistik ke santri putrinya. Menurut cerita kawan saya ini, saat dia memberikan pelatihan tulis menulis, lampu ruangan yang dipakai disabotase dengan cara dimatikan oleh para ustadz2 senior yang tidak sepakat dengan kegiatan tersebut. Ustradz2 tersebut berpendapat "apa gunanya belajar tulis menulis, bila kitab2 yang ada aja belum semuanya kita bisa mengkajinya." Dengan hati yang perih, kawan saya ini tegas mengatakan "Bagaimana kalian akan bisa membaca karya-karya besar al-Ghazali bila beliau saat itu tidak menulis? bila saat itu al-Ghazali punya pikiran bodoh seperti kalian?." Dan terdiamlah para ustadz tersebut. Belum lagi ketika kawan saya mencoba merintis mading dan juga majalah pertama di pesantren putri, banyak sekali tekanan. Apalagi ketika dia mulai memperkenalkan ide2 kesetaraan genderdi pesantren, tekanan semakin kuat. Beruntung kawanku ini kuat menghadapinya.
Mungkin bagi orang yang tidak memiliki latar belakang pesantren, film tersebut "terkesan" kejam. Tapi coba tanya pada orang-orang yang berasal dari pesantren? apalagi pesantren tradisional? mereka pasti akan bisa merasakan jeritan batin (walaupun tidak sama) dengan anisa. Mungkin benar kritikan orang bahwa film ini memberi kesan bahwa Islam tidak ramah perempuan, apalagi sering kali sang Kyai dan Guru mengatakan kalau perempuan tidak pantas memimpin dan sebagainya. Tapi apakah para pengkritik tersebut menutup mata pada realita di masyarakat yang masih banyaknya para Kyai2 yang berpendapat bila perempuan tidak seharusnya jadi pemimpin? Ayolah... ini bukan ngomong idealisme, ini menceritakan tentang realita di masyarakat. Aku pikir dalam film tersebut sudah seimbang kok, setelah penonton dicekok'i dengan posisi perempuan yang ditafsiri secara "keras" oleh sang Kyai, kemudian penonton dibawa untuk melihat interpretasi yang berbeda dari sosok Lek Khudori dan Anisa. Jadi penonton bisa mengetahui Islam yang ramah perempuan.
Terlepas ada anggapan bila Hanung menjual Islam, film ini layak ditonton, terutama untuk melihat kehidupan seorang "NENG" yang di luar kelihatan bahagia dengan sangkar emas, tapi coba tengok hatinya.
Reaksiku pertama membaca novel itu adalah meneteskan air mata. Pertama karena aku sangat haru dengan ceritanya. Kedua aku sangat bangga pada sosok Abidah yang berani mengangkat suara perempuan pesantren dengan kritik-kritiknya yang tajam dalam bungkusan cerita novel yang menarik.
Ketika novel ini diangkat menjadi sebuah film, aku sangat penasaran. Disamping pengen tahu bagaimana Hanung Bramantyo memvisualkan novel tersebut, juga karena banyaknya reaksi yang bermunculan. Tapi jujur, aku sudah lupa-lupa ingat jalan cerita dalam novel tersebut. Cuman sayang aku belum mendapat kesempatan mendapat film utuhnya sampe tadi malam.
Tadi malam yang seharusnya aku buat untuk menulis paper, aku habiskan untuk memuaskan rasa penasaranku pada film "Perempuan Berkalung Surban." Ah entar kenapa reaksiku sama seperti saat membaca novel ini, aku tetap tidak bisa menahan air mataku mengalir.
Benar-benar sosok Anisa dalam film tersebut membawa ingatanku pada seorang kawan. Pada banyak hal kawanku ini memiliki banyak kemiripan dengan Anisa. Dia adalah putri kyai, pernah hidup di Jombang, dan menghabiskan waktu kuliah di Jogja. Kawanku dan Anisa juga sama-sama senang menulis. Dan menjadikan kisah hidupnya sebagai inspirasi ketika menulis.
Bila Anisa diijinkan oleh orang tuanya melanjutkan kuliah di Jogja kalau sudah menikah, tidak beda jauh dengan kisah kawanku ini. Dia harus menikah dulu sebelum akhirnya bisa menikmati bangku kuliah. Bagi dua perempuan ini (yang satu perempuan fictive belaka dan satunya perempuan yang benar2 nyata) kuliah adalah sesuatu yang mahal yang harus direbutnya dengan mengorbankan masa muda. Tapi kawanku ini kayaknya lebih beruntung dari pada anisa dalam kehidupan berumahtangganya. Berbeda dengan Anisa yang oleh suami pertamanya dilarang berkuliah, tapi kawanku ini bisa mengejar studynya, dan membayar kehilangan masa mudanya dengan berlari mengejar studynya. Walaupun sebenernya pernikahan mereka sama-sama dijodohkan.
Bila Anisa mendapat tantangan ketika akan membangun perpustakaan, yang akhirnya buku-bukunya dibakar oleh kakaknya, karena dianggap menyalahi soul dari pesantren, kawanku ini hampir mendapatkan permasalahan yang sama ketika dia mengenalkan jurnalistik ke santri putrinya. Menurut cerita kawan saya ini, saat dia memberikan pelatihan tulis menulis, lampu ruangan yang dipakai disabotase dengan cara dimatikan oleh para ustadz2 senior yang tidak sepakat dengan kegiatan tersebut. Ustradz2 tersebut berpendapat "apa gunanya belajar tulis menulis, bila kitab2 yang ada aja belum semuanya kita bisa mengkajinya." Dengan hati yang perih, kawan saya ini tegas mengatakan "Bagaimana kalian akan bisa membaca karya-karya besar al-Ghazali bila beliau saat itu tidak menulis? bila saat itu al-Ghazali punya pikiran bodoh seperti kalian?." Dan terdiamlah para ustadz tersebut. Belum lagi ketika kawan saya mencoba merintis mading dan juga majalah pertama di pesantren putri, banyak sekali tekanan. Apalagi ketika dia mulai memperkenalkan ide2 kesetaraan genderdi pesantren, tekanan semakin kuat. Beruntung kawanku ini kuat menghadapinya.
Mungkin bagi orang yang tidak memiliki latar belakang pesantren, film tersebut "terkesan" kejam. Tapi coba tanya pada orang-orang yang berasal dari pesantren? apalagi pesantren tradisional? mereka pasti akan bisa merasakan jeritan batin (walaupun tidak sama) dengan anisa. Mungkin benar kritikan orang bahwa film ini memberi kesan bahwa Islam tidak ramah perempuan, apalagi sering kali sang Kyai dan Guru mengatakan kalau perempuan tidak pantas memimpin dan sebagainya. Tapi apakah para pengkritik tersebut menutup mata pada realita di masyarakat yang masih banyaknya para Kyai2 yang berpendapat bila perempuan tidak seharusnya jadi pemimpin? Ayolah... ini bukan ngomong idealisme, ini menceritakan tentang realita di masyarakat. Aku pikir dalam film tersebut sudah seimbang kok, setelah penonton dicekok'i dengan posisi perempuan yang ditafsiri secara "keras" oleh sang Kyai, kemudian penonton dibawa untuk melihat interpretasi yang berbeda dari sosok Lek Khudori dan Anisa. Jadi penonton bisa mengetahui Islam yang ramah perempuan.
Terlepas ada anggapan bila Hanung menjual Islam, film ini layak ditonton, terutama untuk melihat kehidupan seorang "NENG" yang di luar kelihatan bahagia dengan sangkar emas, tapi coba tengok hatinya.