Kemarin di kelas "Advanced Topic in Feminist Studies and Education" kita menerima guest speaker, yakni Dr Sarah Twoney, seorang dosen di curriculum studies di univ ku. Dia memberi judul diskusi kita malam itu dengan "I'm (possible) Literacies: Digital Play, Gender and Schooling."
Kelasku yang hanya terdiri dari 4 students tersebut semakin hangat dengan diskusi yang menarik ini. Sarah menerangkan kalau tema tersebut adalah bagian dari projectnya. Dia telah meneliti masalah ini beberapa tahun dan yang diteliti adalah murid-murid di high school.
Dalam penelitiannya terungkap kalau murid laki-laki lebih banyak menggunakan fasilitas komputer untuk bermain game, sebaliknya murid perempuan lebih memanfaatkan komputer untuk searching materi-materi tentang science.
Sarah juga mempunya web yang dibuatnya dengan kawannya. web tersebut diberi nama
Pink Voice. Maksud pink voice adalah tempat diskusi sesama murid-murid perempuan. Memang dalam kenyataanya ketika dalam komunikasi, perempuan sering tidak bisa menjadi dirinya sendiri kalau teman ngobrolnya adalah lawan jenis. Gender construction juga berimplikasi dalam komunikasi sehari-hari.
Aku pernah membaca artikel hasil penelitian, disitu diterangkan bahwa kalau di chat room yang isinya mix gender, biasanya orang yang menggunakan nama-nama maskulin lebih sering menyapa dengan kata-kata yang menjurus ke arah sex, bahkan obrolannya tidak jauh-jauh dengan sex. Dan itu terjadi juga bila chat roomnya khusus laki-laki, disamping obrolan soal sport, topic sex tidak pernah lepas. Ini tidak sama ketika masuk chat room yang untuk perempuan, mereka lebih banyak sharing tentang sibuknya mengurus rumah tangga, tentang anak-anak mereka dan juga sering juga obrolan tentang pekerjaan.
Dari sini aku jadi teringat pikiran yang sempat menggelitik otakku beberapa waktu lalu. Bila aku amati dari banyak kawan blogger, kebanyakan ibu-ibu yang aktif di blogger mempunyai blog lebih dari satu. Biasanya blog yang satu untuk pekerjaan dan blog satunya untuk menulis tentang aktifitas sehari-harinya dengan keluarga. Paling tidak ibu-ibu yang blogger -dalam pandangan saya- selalu memiliki space tersendiri sebagai tempat untuk keluarga. Coba bandingkan dengan blogger laki-laki -ini tentu juga sejauh pandanganku-, mereka hanya memiliki blog satu dan itu untuk pekerjaan mereka. Jarang sekali blogger cowok yang punya space tersendiri yang menceritakan tentang aktifitas dengan keluarganya.
Aku jadi mikir, apakah itu karena ibu-ibu lebih banyak waktunya dengan keluarga? Ah sepertinya enggak juga tuh, aku tahu kok banyak ibu-ibu blogger yang pergi pagi dan pulang sore untuk bekerja, sama dengan suami-suami mereka. Ataukah itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan para Ibu-ibu yang tidak bisa selalu menemani buah hati mereka, hingga mereka ingin selalu merekam aktifitas sekecil apapun dengan keluarganya dalam blog?, bisa juga jawabannya iya, bila memang itu masalahnya, lalu apakah bapak-bapak itu juga tidak perlu menyesal telah meninggalkan buah hati mereka begitu lama untuk bekerja?? Mungkin juga jiwa perempuan yang sarat dengan perasaan membawa Ibu-ibu untuk bisa menyalurkan apa yang dia rasakan dalam space tersendiri.
Apapun alasannya dari sini bisa di lihat bagaimana perbedaan gender telah membuktikan cara yang berbeda pula dalam mengungkapkan perasaan.