Anak pertamaku Ahmad Kavin Adzka, lahir saat usiaku masih umur 19 tahun. Dengan segenap kebodohanku dan keterbatasan pengetahuanku tentang bagaimana merawat anak dan memberikan pendidikan yang bagus baginya, dia grow up. Kakak (begitu biasanya kami memanggilnya) lahir pada tanggal 22 Maret 1999. Sejak dia berumur tiga bulan hingga 15 bulan aku mengurusnya sendiri semuanya, karena aku harus mengikuti suamiku ke Jogja, satu-satunya panduanku ketika merawatnya adalah buku.
Kakak tergolong anak yang cukup tanggap dan cerdas, ini terbukti sejak dia di kelas satu (sekarang kelas dua) dia selalu rangking satu. Aku dan suamiku bukan tipe orang tua yang memaksa anak-anak untuk mendapat rangking tertinggi. Aku hanya selalu bilang ke dia kalau dia harus rajin belajar, aku tidak perduli dia rangking berapa. Mungkin karena inilah kakak tidak merasa terbebani atau shock bila dia mendapat nilai jelek. Sejak di TK, ketika dia menunjukkan nilainya yang terkadang mendapat C, aku cuek aja, aku hanya bilang “Nilai itu tidak penting sayang, yang terpenting adalah kakak harus rajin belajar.”
Saat dikandungan aku selalu mengajaknya ngobrol, dan babahnya selalu membacakan Quran. Ketika dia belum berumur satu tahun, aku sudah membacakan buku cerita ke dia. Ada kejadian menarik berkaitan dengan buku cerita. Dulu aku selalu mengajari dia memanggil aku dengan “UMI” karena memang di keluargaku panggilan “mama” masih uncommon dan cenderungnya jadi sok kota gitu deh. Karena aku selalu membacakan cerita ke dia (cerita Ali dan Mio), dan di situ Ali selalu memanggil ibunya dengan Mama, eh ketika kakak mulai bisa bicara, dia bukan memanggilku Umi tapi Mama hehhee. Awal-awalnya Abah dan Ibuku gak sepakat dengan panggilan itu, dan aku masih terus berusaha mengajarinya memanggil Umi, tapi kakak tetep kekeh, ya akhirnya semua menyerah, dan hingga sekarang manggil Mama hehhe. Buku seri Ali dan Mio itu macam-macam, nah suatu saat aku mengajari kakak untuk mandi sendiri, eh dia malah bilang “Pokoknya aku mau mandi sendiri kalau sudah dibelikan buku Mio yang judulnya aku bisa mandi sendiri” hehhehe.
Kebiasaan baca cerita ini berlanjut hingga dia agak besar, dia tidak akan bisa tidur kalau belum dibacakan cerita. Walaupun saat itu dia belum bisa baca, tapi dia sudah hafal setiap dialog tokohnya hehehe. Ketika dia mulai bisa baca, dia melanjutkan kebiasaan itu dengan membaca sendiri. Dan bukunya terus berkembang sesuai dengan umurnya. Sekarang ini, dia mulai keranjingan baca majalah BOBO.
Kakak juga keranjingann menggambar. Kebiasaan ini mungkin muncul karena saat dia kecil, aku sibuk dengan tugas-tugas kuliah, dan Babahnya juga sibuk dengan berbagai macam papernya, jadi dia cari kesibukan sendiri. Kertas-kertas bekas salah ngeprint aku jadikan satu dan aku kasihkan kakak, di balik kertas itulah kakak menuangkan gambarannya. Bisa jadi juga ini keturunan, karena Babahnya juga suka menggambar. Kegemaran menggambar ini dulu aku jadikan alat untuk mengajarinya mengaji, kalau dia sedang males ngaji. Jadi babahnya menggambar berbagai macam bentuk kendaraan (ini favoritenya) terus di gambaran itu aku tulis lafad-lafad Arab, dan di situlah kakak mau belajar mengaji.
Kakak juga sangat terispirasi dengan Faiz anaknya Helvy Tiana Rosa yang penulis cerpen dan novel. Waktu Faiz baru berumur 7 tahun buku kumpulan puisinya sudah diterbitkan. Kakak sering tiba-tiba menyendiri di pojok kamar, sambil bawa pulpen dan kertas lalu dia menulis semacam puisi. Pertama kali dia buat puisi itu ketika usianya lima tahun dan puisinya tentang aku dan babahnya. Dan aku masih ingat bagian pertama puisinya itu.
Babahku namanya Aslam Saad
Babahku orang Madura
Babahku selalu pergi ke Semarang untuk mengajar.
Mamaku namanya Nihayatul Wafiroh
Mama selalu ke kampus di IAIN Sunan kalijaga
Dia juga sering mendiskripsikan aktifitasku dan babah dalam bentuk tulisan, dan sering kali pula aku membaca nada protesnya dari tulisan itu. Pernah suatu saat dia menulis begini “Teman-temanku enak kalau sekolah selalu ditungguin mamanya.” Ketika aku membaca itu, aku langsung nangis, rasanya DEG. Kemudian aku ajak dia bicara, oya kunci bagi kakak itu adalah ngobrol, semarah or sesebel apapun kalau dia diajak ngobrol dia akan bisa dibilangin dan diajak diskusi. Aku bilang ke dia, bukannya mama tidak mau menemani kakak sekolah, cuman apa perlu mama menungguin kakak di sekolah, kan kakak anak hebat, tidak penakut, tidak suka bertengkar, menurut ke Bu guru, terus kenapa kakak ingin ditemani mama?. Aku juga coba membuka matanya dengan membandingkan dia dengan temen-temennya yang ditungguin mamanya. Aku bilang ke dia, coba lihat temen kakak itu yang selalu ditungguin mamanya, dia mau lari-lari atau loncat-loncat tidak boleh sama mamanya, karena mamanya takut dia jatuh, tapi kalau kakak, siapa yang mau melarang kakak? Kakak bisa main apa aja yang kakak mau, kalaupun kakak nanti jatuh, pasti kakak tidak akan nangis seperti temen-temen lain, karena kakak anak kuat dan hebat. Akhirnya melalui diskusi panjang, dia bisa mengerti juga, dan malah dia jadi sangat bangga karena dia tidak ditungguin mamanya.
Kakak juga terbilang kritis. Dia akan tanya apa aja, ampe temenku Belek hampir give up harus menjawab segudang pertanyaan kakak ketika mengajak dia ke Musium Pesawat terbang hehehhehe. Dulu saat kami masih di Jogja, di daerah Nologaten tempat kami ngontrak rumah (kontraktor bo!!!) masih banyak sawah. Nah di tahun ke dua sebagian sawah-sawah itu berubah menjadi perumahan mewah. Suatu saat aku ajak dia jalan-jalan naik sepeda motor, ketika melewati perumahan itu kakak tanya, “Ma, kenapa sawah-sawah ini dibangunin rumah, terus gimana dengan pak tani?” aku jawab kalau semua orang butuh rumah untuk tidur, dan berlindung dari hujan dan panas. Eh jawaban kakak di luar dugaanku, dia bilang “Kan orang-orang itu bisa menginap di Hotel Ambarukmo, kata mama hotelkan tempat orang menginap. Kasihan pak tari kalau gak punya sawah dia gak bisa kerja, terus gimana makannya? Kita juga gak bisa makan nasi kalau gak ada sawah lho ma.” Sumpeh aku gak bisa jawab ketika dia bilang begitu. Saat itu antara rasa haru dan bersyukur karena Allah memberiku anak yang cerdas dan punya kepedulian tinggi jadi satu, dan aku berdoa semoga pandangannya ini tetap ada hingga saatnya nanti dia harus berjuang untuk membela orang-orang tertindas.
Kecemelangan-kecemelangan kakak ini yang membuatku sangat tidak tega meninggalkan dia di rumah orang tuaku, karena aku takut kekritisan dia tidak mendapat jawaban yang tepat atau malah terkebiri. Aku ingat saat dia berumur 4,5 tahun, dia tanya ke aku kenapa dada mama dan dada babah tidak sama. Aku jawab aja, kalau payudara mama besar karena harus menyusui kakak dan adek (saat itu aku sedang hamil dedek). Eh siangnya saat dia main-main dengan tetanggaku yang punya anak perempuan kecil, kakak bilang “Bu de, besuk dadanya dek Miftah besar ya, karena harus menyusui adek.” Eh tahu tidak reaksi tetanggaku ini, “Hus mas Kavin gak boleh bilang begitu, saru, entar tak bilangin mama lho kalau mas Kavin bilang begitu lagi.” Untungnya kakak tidak menyerah begitu saja, dia membela diri kalau pendapatnya benar, dan dia berusaha meyakinkan Bu de itu dengan mengatakan kalau yang bilangin begitu adalah mama. Mendengar itu, aku keluar dari rumah, dan Bu de tetanggaku itu melaporkan kejadian itu ke aku. Yach… akhirnya aku berusaha menerangkan bahwa kita harus memberikan informasi yang benar ke anak. Walaupun aku tahu Bu de tidak sepakat dengan pendapatku tapi dia terdiam juga mendengar penjelasanku.